Hijrah cintaku menguatkan alasanku
Untuk menjadi manusia lebih baik
Namun saat sinarnya datang menjemputku
Mana mungkin aku berlari
(Rossa – Hijrah Cinta)
Untuk menjadi manusia lebih baik
Namun saat sinarnya datang menjemputku
Mana mungkin aku berlari
(Rossa – Hijrah Cinta)
Ponorogo, 24 Januari 2007
“…”
Helaan nafasku kaku. Dadaku mulai sesak. Aku
tak mungkin menyiratkan kegamangan hatiku kala itu. Laki-laki itu terus
melontarkan berbagai alasan dan harapannya padaku.
Ia yang telah kembali dari perginya, ia yang seketika muncul dari tenggelamnya setelah sekian lama. Hatiku hancur, andai ia dapat merasakan apa yang aku rasakan saat itu. Apapun yang terjadi bukan saatnya lagi bagiku untuk menyembunyikannya, meski kurasa sedikit getir untuk melugaskannya. Jujur dalam hati, aku masih menantinya. Namun takdir telah membawaku pada sebuah dimensi hidup yang baru. Sebuah dimensi hidup yang telah Allah gariskan sebagai skenario perjalanan hidup yang harus aku mainkan.
Ia yang telah kembali dari perginya, ia yang seketika muncul dari tenggelamnya setelah sekian lama. Hatiku hancur, andai ia dapat merasakan apa yang aku rasakan saat itu. Apapun yang terjadi bukan saatnya lagi bagiku untuk menyembunyikannya, meski kurasa sedikit getir untuk melugaskannya. Jujur dalam hati, aku masih menantinya. Namun takdir telah membawaku pada sebuah dimensi hidup yang baru. Sebuah dimensi hidup yang telah Allah gariskan sebagai skenario perjalanan hidup yang harus aku mainkan.
“Maaf… Aku ndak bisa, Mas…” Sepotong
kalimat penegasan yang begitu saja keluar dari mulutku.
Hanya kata-kata itu yang mampu aku ucapkan
padanya usai runutan kalimat panjang bernada penyesalan yang ia lontarkan.
“Apa yang membuatmu berkata seperti itu, Rahma? Apa…” kalimatnya terputus.
Terdengar hembusan nafas yang berat
dari gagang telepon di ujung sana. “Apa kau sudah menikah?” Lanjut ucapnya
lirih hingga seakan mengundang rasa itu untuk hadir kembali. Andai ia datang
pada hari di mana semua itu belum dimulai.
“Aku akan menikah minggu lusa, Mas,” Aku tak menyangka aku mampu mengatakan itu kepadanya.
Kepada ia, orang yang selama ini aku
cintai. Orang yang kehadirannya senantiasa aku nanti. Orang yang bertahun-tahun
lamanya menghiasi kehidupan asmaraku, namun pergi tak kunjung kembali. Tapi
kini aku seolah mencampakkannya, hanya untuk seorang duda nyaris kepala tiga
yang baru kukenal dan meminangku beberapa waktu lalu. Di usiaku yang masih
seusia lulusan anak kuliahan, kuakui ia terlalu tua untukku.
Sungguh, bodohnya kurasa aku kala itu.
Kulampiaskan apa yang dapat aku katakan di gagang telepon saat itu juga. Ia
hanya diam, tanpa kata. Kuungkapkan apa yang menjadi jutaan pertanyaanku selama
ini tentangnya. Ia menghilang, nyaris tiga tahun lamanya, tanpa kabar berita.
Tak ada satupun yang tahu tentang keberadaannya. Di saat aku putus asa,
laki-laki itu datang mempersembahkan harapan baru, meski untuknya kala itu
belum ada cinta.
Ponorogo, 23 Mei 2004
Malam itu hujan turun begitu derasnya. Kerumunan butiran menyejukkan itu membasahi apapun yang terpampang di hamparan bumi milik-Nya. Bagiku, ini anugerah dari langit. Tapi tidak untuk saat ini. Hujan ini begitu membelenggu. Membelenggu aku dan Farhan yang malam itu terisolir di halte bis kota. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 7 malam.
Malam itu hujan turun begitu derasnya. Kerumunan butiran menyejukkan itu membasahi apapun yang terpampang di hamparan bumi milik-Nya. Bagiku, ini anugerah dari langit. Tapi tidak untuk saat ini. Hujan ini begitu membelenggu. Membelenggu aku dan Farhan yang malam itu terisolir di halte bis kota. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 7 malam.
Hari yang buruk, kurasa. Aku dan Farhan
hanya berniat membeli buku bersama di toko buku sepulang sekolah di pusat kota.
Namun, hujan terpaksa menahan aku dan dia di sini. Kutatapi ia yang berdiri,
mengambil jarak agak berjauhan denganku. Ya, kami sama-sama berdiri mematung,
namun tidak berhadapan. Kemudian ia menyodorkan padaku jaket berwarna abu-abu
yang ia kenakan, tanpa melihat ke arahku.
Sedikit kulayangkan pandangan ke
arahnya, bajunya mulai basah. Setelan celana abu-abunya sudah menampakkan warna
menua, tanda tertimpa air hujan sejak beberapa waktu lalu menunggu hujan reda.
Aku mengambil jaket itu, lalu mengenakannya. Hingga tiba saatnya, jemputanku
datang.

“Praaak!”
Suasana pecah. Ayah membanting sebuah helm yang baru saja ia lepas dari
kepalanya. Ia yang baru saja kembali dari kota selepas seharian berjihad
mencari nafkah. Tak dapat aku pungkiri, mungkin malam itu adalah puncak amarahnya
yang telah terakumulasi sejak lama. Aku terdiam, membisu, berdiri di tengah
ruang tamu. Semua mata menatapku dengan tatapan seolah aku adalah orang paling
berdosa. Ibu, Ayah, Paman. Semuanya sama saja.
“Mau jadi apa kamu? Berduaan dengan anak laki-laki hingga malam begini!” Gertak Ayah dengan nada suara tak begitu tinggi, namun begitu memekakkan telinga.
Wajah Ayah merah padam. Suaranya
gemetar, desah nafasnya tak beraturan. Aku tak sanggup menatapnya. Aku
merunduk, bola mataku memanas, hingga akhirnya keluarlah tetes-tetes tanda
penyesalan itu.
Pagi itu, pengumuman hasil ujian masuk
ke perguruan tinggi telah keluar. Kuperhatikan urutan nama yang terpampang di
mading sekolah. Ya, namanya tertulis di sana.
Sebuah universitas ternama yang
terbentang nun jauh di sana. Ia akan meninggalkanku dengan sejuta tanda tanya.
Kuberanikan diri hari itu juga untuk menemuinya. Tepat di bawah pohon rindang,
di taman sekolah.
“Aku ingin bertanya padamu, Han..”
Ucapku perlahan.
“Ya, tanyalah…” Ucapnya seraya memainkan layar telepon genggam miliknya. Sambil membenarkan letak kaca matanya, kutahu tatapannya kosong seolah menantiku untuk berbicara.
“Apa yang ingin kamu wujudkan beberapa waktu ke depan?” Ucapku spontan. Kuperhatikan matanya mencari-cari jawaban dengan sesekali menggerakkan bola mata ke sana dan kemari.
“Aku ingin fokus kuliah, Ma…” Tukasnya singkat.
“Setelah itu?”
“Aku ingin melanjutkan hafalanku di pondok Ayah…” Ucapnya dengan pola irama yang sama. “Setelah itu?”
“Aku…” Dia terdiam.
Kali ini ia nampak setengah ragu
sembari menatap ke arahku sejenak, lalu kembali melempar pandangannya ke layar
berukuran beberapa centimeter itu.
“Aku tak bisa janjikan apa-apa padamu,
Rahma. Beasiswaku diterima. Aku akan singgah ke Jakarta dan fokus untuk kuliah
dulu.”
Sungguh bukan itu jawaban yang aku
inginkan.
Ada hal lain, hal sakral antara seorang
laki-laki dan perempuan. Di desaku, menikah dini itu sudah biasa dengan banyak
alasan yang melandasinya. Namun, kini memang antara kami hanya memiliki cinta.
Tapi apa itu tidak cukup? Pikirku. Pertemuan itu adalah kali terakhir aku
melihat wajahnya.
Namanya Farhan, ia adalah teman
sepermainanku sejak kecil. Ia adalah orang yang baik. Ia selalu menepati janji.
Ia seorang juara kelas, teman-teman begitu simpati padanya. Bahasa arabnya
lancar, ilmu agamanya jangan ditanya. Kedua orangtuanya adalah orang ternama,
tokoh agama terkenal di daerah tempat tinggalku. Namun, aku tak pernah mengerti
apa sebab Ibu tidak menyukainya. Mungkin karena Ibu dan Ayah juga orang
terpandang di tempat tinggalku, hingga berat jika membiarkan anak perempuannya
bermain-main dengan anak laki-laki yang bukan mahramnya.
Aku ingat sekali saat Ibu pernah
mengatakan, “Laki-laki baik mana yang mengajak wanita yang dimuliakannya untuk
berjalan-jalan, bermain-main berdua, meski tidak melakukan apa-apa?” Ibu
terlalu kolot, pikirku waktu itu. Anak sebaya di sekitarku banyak yang
bertingkah lebih parah dari itu. Ada yang berpegangan tangan, bergandengan
tangan, mengendarai sepeda berdua, namun Ibu tidak pernah menggubrisnya. Begitu
pula Ayah. Meski ia sosok yang penyayang, pendiam, namun ia tetap tegas untuk
hal semacam ini.
Pernah suatu waktu, aku berjanji
bertemu dengannya di kios Pak De Ahmad, pamanku, untuk sekedar mengembalikan
buku catatan miliknya yang kupinjam saat aku tak berangkat sekolah. Namun, Ayah
mengawalku dari awal perjalanan hingga ia pergi dari pandangan. Aku tak
mengerti apa yang ditakutkan oleh orang tuaku. Mungkin engkau berpikir bahwa
aku menjalin hubungan dengannya? Benarkah begitu? Kujawab, tidak juga. Tapi
antara aku dan Farhan memang ada sesuatu yang berbeda. Kami pernah berbicara
satu arah hingga tercetuslah sepenggal kalimat satu muara bahwa saat itu kami
memang saling memiliki rasa. Namun aku bingung rasa ini harus dibawa ke mana.
Kami tahu bahwa menjalin hubungan itu bukanlah pilihan yang tepat karena aku
dan dia sama-sama tahu bahwa itu sesuatu yang tidak pantas dan belum saatnya.
Kuakui, kala itu kami hanya bingung tentang bagaimana dua dimensi rasa berbalas
ini harus bermuara.
Aku ingat saat satu tahun menjelang
kelulusanku, Ibu bermaksud menjodohkan aku dengan seorang pemuda, anak dari
teman karibnya. Ia mengatakan bahwa pemuda itu adalah pemuda baik dan taat
agama. Saat itu ia tengah menyelesaikan studi S1 di negeri Jiran Malaysia.
Namun aku menolak mentah-mentah karena trauma dengan legenda Siti Nurbaya. Mana
mungkin di jaman ini masih ada orang tua yang tega mencampuri urusan hati
anaknya?
Ponorogo, 28 Mei 2006
Dua tahun berlalu, hari-hari yang berat tanpa kabar apa-apa. Kuhabiskan sepanjang waktuku di taman pendidikan Al Quran di desa sebelah tempat tinggalku. Menjelang siang, aku mengajar kembali di SD Islam yang berada dalam satu naungan yayasan dengan taman kanak-kanak tempatku mengajar. Jauh dalam lubuk hatiku, aku masih mengharapkannya. Tapi kesibukanku kala itu lumayan mengikis ingatanku tentangnya.
Dua tahun berlalu, hari-hari yang berat tanpa kabar apa-apa. Kuhabiskan sepanjang waktuku di taman pendidikan Al Quran di desa sebelah tempat tinggalku. Menjelang siang, aku mengajar kembali di SD Islam yang berada dalam satu naungan yayasan dengan taman kanak-kanak tempatku mengajar. Jauh dalam lubuk hatiku, aku masih mengharapkannya. Tapi kesibukanku kala itu lumayan mengikis ingatanku tentangnya.
Puncak penantianku berakhir di sini.
Aku tak mampu lagi menahan gejolak rindu untuk sekadar tahu sedang apa ia di
sana. Kukerahkan semua usaha yang mampu kulakukan saat itu. Namun nihil.
Beberapa temannya tidak banyak tahu perihal kabar tentangnya. Hingga akhirnya
Rangga, teman seperjuangannya kuliah di kota memberiku akun media sosial
miliknya. Di hari libur, aku melesat menuju warung penjaja jasa internet, lalu
spontan kularikan kursor komputer ke arah akun yang kutuju. Dan benar saja, ia
adalah Farhan-ku yang lama menghilang. Ia nampak lebih gagah dengan setelan
almamater biru redup yang ia kenakan. Kucoba beranikan diri menghubunginya
lewat pesan pribadi, sembari mencoba peruntungan nasib cintaku kala itu. Ya,
tak bisa kupungkiri bahwa aku masih menantinya. Dua jam lamanya, usahaku
sia-sia. Tak ada respon apa-apa darinya. Aku memutuskan untuk pergi dan datang
kembali di lain waktu.
Hanya berselang beberapa kali pergantian siang dan malam, aku kembali ke tempat itu. Dengan degup tak tentu aku larikan kursor komputer ke akun yang sama, seperti yang kubuka beberapa waktu lalu. Namun lagi-lagi nihil, tak ada tanggapan. Kubuka profil akunnya, ia baru saja meng-update kirimannya, tepat dua jam yang lalu. Tapi ia sama sekali tak menggubris pesanku. Apa kini ia telah melupakanku?
Pagi itu, Ibu memintaku untuk ikut ke
yayasan tempatku mengajar. Aku tak tahu ada angin apa Ibu yang biasanya hanya
menyibukkan diri di dapur dan halaman rumah, kini memintaku untuk mengajaknya
ke sekolah. Ia hanya mengatakan ada orang penting yang akan ia temui hari itu.
Setiba di sana, ada sebuah mobil mewah
terparkir rapi di halaman yayasan. Tiba-tiba Ibu menunjuk ke sebuah arah.
Kulayangkan pandanganku ke arah Ibu memantapkan ibu jarinya. Seorang laki-laki
berperawakan tinggi berbalut setelan kemeja biru muda dan celana bahan, lengkap
dengan sepatu hitam mengkilatnya. Ia nampak berwibawa dengan jenggot seremasan
jemari melekat di dagunya. Kuterka, usianya mungkin sekitar 30 tahun. “Ia Rudi,
anak almarhum Pak Hartoyo. Ia yang akan menggantikan Ayahnya untuk mengurus
yayasan ini,” Tukas Ibu memecah lamunanku.
Ibu banyak bercerita tentangnya.
Laki-laki itu adalah lulusan terhormat di desanya, karena pemuda berpredikat
lulusan sarjana di desa pada saat itu masih jarang. Ia anak yang berbakti,
patuh kepada orang tua, pandai mengaji, dan rajin beribadah. Yang kudengar dari
Ibu, ia adalah sosok pemuda idaman setiap gadis di desanya. Tapi kurasa itu
hanya opini Ibu-Ibu dan sebagian teman perempuan sebayanya. Tentu tidak
termasuk aku, karena masanya sudah berbeda.
Siang itu, laki-laki itu memintaku ke
ruangannya. Kuberanikan diri untuk memasuki ruang kerjanya yang tak tertutup.
Namun yang kutemui hanya ruang kerja rapi tertata, tak berpenghuni. Kutunggu
sejenak, sembari kupandangi meja kantor yang tersusun rapi. Kulemparkan
pandanganku pada sebuah bingkai foto pernikahan yang menghiasi mejanya. Ia
terlihat lebih muda di foto itu. Wanita yang bersamanya begitu cantik.
“Laki-laki yang beruntung mendapat
wanita seanggun itu,” gumamku dalam hati.
Tak berapa lama, ia datang. Ia tak memandang wajahku sama sekali.
“Aku tidak memintamu menemuiku di
ruangan, Rahma.” Ucapnya singkat, dengan warna suara rendah, sambil berlalu
meninggalkanku.
Spontan aku terkaget, dan mengikuti
langkahnya menuju luar ruangan.
“Sejak tadi aku ada di luar.”Menurutku,
ia adalah orang yang paling tidak sopan yang baru kukenal. Tidak ada salam,
tidak ada basa-basi. Aku tak membayangkan kini aku akan menjadi bawahannya.
Selama aku menjabat sejak dua tahun lalu, Pak Hartoyo tidak pernah
memperlakukan aku sedingin itu. Sejak tadi, aku sudah memikirkan alasan-alasan
konyol dalam pikiranku jika nanti kemungkinan aku tidak betah lalu harus
mengundurkan diri dari jabatanku sebagai bagian administrasi di yayasan itu.
Setiba di luar, ia menjelaskan sedikit
tentang kondisi yayasan sejauh yang ia tahu. Sesekali ia bertanya padaku,
kusambut dengan jawaban seadanya. Omongnya sedikit, ia hanya bicara seperlunya.
Hingga tiba saat Pak Kades memanggilnya, obrolan itu pun terhenti di sana.
Ponorogo, 08 Januari 2007
Akhirnya, aku berhasil melalui hari-hari yang tidak terlalu buruk. Kebiasaannya yang bolak-balik ke luar kota menjadikan aku jarang bertemu dan berurusan dengan makhluk dingin itu. Memang akan banyak hal yang diurusi untuk laki-laki sesibuk dia. Menjaga hubungan dengan relasi, menjenguk istrinya di kampung halaman, dan lainnya yang tidak aku ketahui satu per satu. Namun, harus aku akui memang Mas Rudi adalah orang yang baik.
Akhirnya, aku berhasil melalui hari-hari yang tidak terlalu buruk. Kebiasaannya yang bolak-balik ke luar kota menjadikan aku jarang bertemu dan berurusan dengan makhluk dingin itu. Memang akan banyak hal yang diurusi untuk laki-laki sesibuk dia. Menjaga hubungan dengan relasi, menjenguk istrinya di kampung halaman, dan lainnya yang tidak aku ketahui satu per satu. Namun, harus aku akui memang Mas Rudi adalah orang yang baik.
Masyarakat sekitar banyak sekali yang
mengaguminya. Bahkan tak ayal ada orangtua yang menawarkan anaknya kepada Mas
Rudi untuk dinikahi. Tapi mereka kurang beruntung karena Mas Rudi sudah
memiliki istri yang begitu rupawan di kampungnya.
Sore itu, hujan turun dengan derasnya.
Gelegar petir bersahut-sahutan menandakan nikmat karunia alam-Nya. Ya, alam
tengah memuji-Nya. Namun aku harus lekas pulang karena Ibu memintaku untuk
segera ke rumah selepas pulang kerja. Setiba di depan rumah, Ibu duduk di
beranda sembari melengkungkan bibirnya dari kejauhan. Seberkas senyuman yang
tak dapat kupungkiri, menghapus semua lelah yang seakan bergelantungan di kedua
pundakku. Terlebih lagi hawa dingin yang mulai menjalari pakaianku yang basah
terkena siraman air langit.
“Ibu ingin mengatakan sesuatu padamu,”
Ucapnya sambil tersenyum. Ia menggenggam jemariku dan memintaku untuk duduk di
sampingnya.
Senyumnya seakan menyiratkan sebuah
harapan. Sesekali ia melayangkan pandangannya ke halaman rumah sembari
menceritakan nostalgia kebersamaan kami sejak aku masih kecil dan
berlari-larian di taman, hingga kini aku sudah dewasa seperti ini.
“Ibu bahagia memilikimu hingga saat ini, Nak,” Ucapnya penuh haru, namun membuat aku semakin penasaran.
“Ada apa? Kenapa tiba-tiba Ibu bicara seperti itu?”
“Tapi Rahma janji, tidak akan marah ya?”
“Hmm, Rahma janji sama Ibu…” Ucapku sedikit ragu.
“Rahma, pagi tadi Rudi menyatakan bahwa ia ingin menikahimu,”
“Ibu tahu mungkin ini terdengar aneh. Akhir-akhir ini Ibu tahu kamu sedang merasakan kerinduan mendalam perihal masa lalumu. Ibu hanya tidak ingin engkau terus merenungi kepergiannya, Rahma. Ibu ingin engkau bahagia…”
Sore itu juga, kudatangi kembali kantor
kerjanya. Bersama Pak De Ahmad, aku menyusul ke kantornya. Dan tepat saja,
kulihat dari kejauhan ia masih bersantai di bangku ruang kerjanya, mungkin
menunggu hujan reda. Petir dan kilat yang sesekali menyambar menambah sensasi
lain dalam benakku kala itu.
“Apa maksud Mas Rudi melakukan ini semua?” Mataku nanar, suaraku parau. Entah perasaan apa yang ada di benakku saat ini. Haru, bimbang, aneh, serta beribu perasaan lain bercampur aduk menjadi satu.
“Adabnya itu salam dulu sebelum bertamu, Rahma…” Ucapnya lembut.
“Mas tahu apa sebab aku ke sini. Apa yang Mas sampaikan kepada Ibu hingga Mas berani mengambil keputusan itu? Apa Ibu yang meminta itu?” ucapku setelah menuturkan salam.
Namun ia hanya duduk terdiam, tidak menggubrisku
sama sekali. Mulutnya kelu, tak satupun kata keluar hingga beberapa lama.
Matanya menerawang, seolah mencari jawaban yang mungkin terselip di atap
kantornya. Tak lama, ia bangkit dari duduk, lalu membalikkan tubuhnya.
“Mas tega. Aku tahu Mas titipkan istri
Mas di kampung. Sesekali Mas jenguk ia jika Mas sedang tidak tugas di sini.
Lalu kini Mas ingin menikahi aku dengan alasan untuk menjaga aku dan diri Mas.
Atas dasar kesucian, Mas menuruti ego dan nafsu Mas sendiri untuk mendua,”
Ucapku sedikit marah.
Pak De Ahmad yang setia mengantarku ke
tempat itu dengan sepeda motornya sesekali memberi isyarat padaku untuk tetap
tenang dan tidak mencampuri ucapanku dengan emosi.
“Aku tidak apa-apa, Mas! Mas tidak usah hiraukan ucapan Ibu tentang aku. Aku tidak masalah dengan segala kondisi yang tengah aku hadapi. Aku tahu benar apa yang aku lakukan, Mas.” Tukasku sekali lagi.
Aku tak mampu berkata-kata lagi.
Nafasku mulai tak beraturan. Mulutku kelu, seperti ada batu besar menyumpal
kerongkonganku. Ia berbalik, sekilas menatapku, kulihat kilatan di tepi
matanya. Ia menatapku kembali sejenak, lalu berjalan ke luar ruangan.
“Kini, boleh aku sedikit menjelaskan?” Ucapnya meminta izin untuk memotong pembicaraanku yang sejak tadi mengalir deras seperti derai arakan air hujan.
“Istriku sudah meninggal, tepat 8 bulan
lalu, sejak kedatanganku ke sini…” Lontaran kata yang membuat aku terbelalak,
kaget, setengah tak percaya, perihal kabar yang ternyata baru aku ketahui sejak
8 bulan lalu aku mengenalnya.
“Mengenai lamaran itu, tak masalah jika kau menolaknya. Namun sungguh niatku adalah untuk menjagamu dan menjaga diriku tentunya.” Ucapnya lirih.
“Ibumu selalu berucap bahwa engkau
adalah anak satu-satunya. Ia tidak ingin engkau kecewa. Ibumu juga tidak ingin
engkau terus mengharapkannya. Entah, mengharapkan siapa, aku tak mengerti. Yang
pasti, kulakukan itu karena Allah. Tak masalah bagiku jika memang engkau punya
jalan pikiran lain, Rahma…”
Aku terdiam. Pikiran itu terus berkecamuk. Kuraih kursi terdekat yang bisa aku jangkau. Kupandangi suasana luar, kulihat Pak De Ahmad masih berdiri di sisi sepeda motornya, menantiku sejak tadi. Ia menatap santun ke arahku, tersenyum, dan mengisyaratkan aku untuk menenangkan diri.
“Kenapa Mas tidak pernah bilang?” Ucapku menyela.
“Apa kau pernah bertanya?” Tandasnya tegas. Sekutip pengakuan yang seolah membuka mataku saat itu juga. Sekutip kalimat yang menggambarkan keegoisan, sifat kekanak-kanakan seorang anak manusia.
Entah selama ini seberapa sering aku
terlalu egois memikirkan kepentingan diriku sendiri dibandingkan sekadar
meluangkan waktu untuk memikirkan kepentingan orang lain.
Kutarik nafas sedalam-dalamnya, lalu
meninggalkannya setelah sebelum itu menyalaminya. Dengan kondisi payah, aku
meninggalkan tempat itu. Kususuri perjalanan menuju rumah dengan perasaan lebih
kalut dari sebelumnya. Kini kusadari, Mas Rudi begitu baik. Selama ini mungkin
aku yang salah. Ya, aku yang terlalu mengikuti emosi dan egoku. Aku tak pernah
menyangka Allah sisipkan orang-orang istimewa di sekelilingku. Namun bodohnya,
lama sekali impuls kesadaranku membangunkan aku akan
keajaiban-keajaiban itu.
Allah titipkan banyak hal di tengah
misteri hidup yang seringkali menyita rasa penasaranku. Buatku, Farhan mungkin
memang pernah menjadi orang terbaik dalam hidupku, tapi bukan yang terbaik yang
disediakan Tuhan untuk menjadi pendampingku. Mungkin ia hanya penguji
perasaanku, penguji rasa setiaku, hingga aku sadar, dahulu sekali aku pernah
mengkhianati cinta-Nya. Ah, tentang Ayah dan Ibu.
Entah seluas telagakah, atau sedalam
samudera, banyaknya limpahan kekecewaan hati mereka padaku. Aku yang selalu
mempertanyakan setiap nikmat kebaikan yang mereka limpahkan padaku, aku yang
selalu mengeluhkan setiap opsi kesempatan untuk memilih jalan terbaik yang
harusnya aku tempuh. Tapi mereka tidak pernah bosan untuk selalu memberikan
apapun yang terbaik semampu mereka, hanya saja aku yang tidak kunjung peka
untuk merasakannya. Kutanggapi itu dengan busungan dada, karena untuk setiap
gumaman mereka di masa sebelumnya, seakan bagai selingkar tari jerat dalam
kehidupanku yang begitu menyulitkan langkah. Sungguh, rasanya terlambat sekali
aku baru menyadarinya.
Ponorogo, 30 Januari 2007
Pagi itu, aku duduk bersantai seraya menimang buku dan alat tulis, memainkan hobi yang sudah lama sekali tidak aku geluti, yaitu mengarang puisi cinta yang dulu sering kulakukan bersama Farhan. Ya, Farhan. Teman masa kecilku dulu, tidak lebih. Tak berapa lama, Ibu datang dari balik pintu lalu menghampiriku.
Pagi itu, aku duduk bersantai seraya menimang buku dan alat tulis, memainkan hobi yang sudah lama sekali tidak aku geluti, yaitu mengarang puisi cinta yang dulu sering kulakukan bersama Farhan. Ya, Farhan. Teman masa kecilku dulu, tidak lebih. Tak berapa lama, Ibu datang dari balik pintu lalu menghampiriku.
“Kau tidak berangkat ke kantor?” Ucap Ibu.
“Tidak, Mas Rudi memintaku berbelanja sesuatu untuk keperluan minggu depan,” Ucapku singkat seraya tersenyum malu.
Hari yang membahagiakan bagi setiap
wanita, khususnya aku, bertepatan seminggu ke depan sejak saat itu.
“Boleh Ibu bercerita tentang sesuatu, Rahma?” Tukas Ibu lagi sembari mengeluarkan sebuah foto masa lalu.
Sebuah fotoku saat masih dalam buaian
yang tengah digendong oleh seorang pria kecil yang tampan.
“Ini aku dengan siapa, Bu?” Ucapku penasaran.
“Ini engkau bersama pria yang dulu hendak Ibu jodohkan denganmu. Anak dari karib yang Ibu maksud dulu.” Ucapnya seakan mengenang masa lalunya.
“Kenapa Ibu menunjukkan foto ini padaku?” Ucapku bernada sedikit heran. “Kau tahu…, laki-laki itu adalah Rudi.”
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/08/20/56028/sepenggal-takdir-yang-tertunda/#ixzz3BJmkxvJV
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Semoga bermafaat peace...!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar